Coaching Dalam Dunia Pendidikan
Oleh:
Ahmad Hadziq Zaka
CGP Angkatan 5
Kabupaten Semarang
Ki Hadjar Dewantara dalam salah satu pandangannya
menyatakan bahwa tujuan pendidikan itu ‘menuntun’ segala kodrat yang ada pada
anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang
setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Oleh
sebab itu, pendidik hanya dapat menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan kodrat
yang ada pada anak-anak, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup
dan tumbuhnya kekuatan kodrat anak.
Disisi lain guru sebagai pemimpin pembelajaran
mempunyai peran sebagai coach bagi guru lain. Dalam menjalankan peran menjadi coach bagi guru
lain, terutama yang terkait dengan peningkatan kualitas pembelajaran bagi murid
di sekolah, Guru dituntut untuk berdaya dalam menemani dan menuntun rekan
sejawatnya itu untuk menelaah proses belajar mereka sendiri.
Oleh sebab itu keterampilan coaching perlu
dimiliki para pendidik untuk menuntun segala kekuatan kodrat (potensi) agar
mencapai keselamatan dan kebahagiaan sebagai manusia maupun anggota masyarakat.
Proses coaching sebagai komunikasi pembelajaran antara guru
dan murid, murid diberikan ruang kebebasan untuk menemukan kekuatan dirinya dan
peran pendidik sebagai ‘pamong’ dalam memberi tuntunan dan
memberdayakan potensi yang ada agar murid tidak kehilangan arah dan
menemukan kekuatan dirinya tanpa membahayakan dirinya.
Sistem Among, Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo
Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani,
menjadi semangat yang menguatkan keterampilan komunikasi guru dan murid
dengan menggunakan pendekatan coaching. Tut Wuri
Handayani menjadi kekuatan dalam pendekatan proses coaching dengan
memberdayakan (andayani/handayani) semua kekuatan diri pada murid. Sebagai
seorang Guru (pendidik/pamong) dengan semangat Tut Wuri Handayani,
maka perlulah kita menghayati dan memaknai cara berpikir atau paradigma
berpikir Ki Hajar Dewantara sebelum melakukan pendampingan dengan
pendekatan coaching sebagai salah pendekatan komunikasi
dengan semangat among (menuntun).
Dalam relasi guru dengan guru, seorang coach juga
dapat membantu seorang coachee untuk menemukan kekuatan
dirinya dalam pembelajaran. Pendekatan komunikasi dengan proses coaching merupakan
sebuah dialog antara seorang coach dan coachee yang
terjadi secara emansipatif dalam sebuah ruang perjumpaan yang penuh kasih dan
persaudaraan. Cara berpikir ini dapat melatih guru (coach/pamong) dalam
menciptakan semangat Tut Wuri Handayani dalam setiap
perjumpaan pada setiap proses komunikasi dan pembelajaran.
Coaching didefinisikan sebagai sebuah proses kolaborasi yang berfokus pada
solusi, berorientasi pada hasil dan sistematis, dimana coach memfasilitasi
peningkatan atas performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan
pertumbuhan pribadi dari coachee (Grant, 1999). Sedangkan
Whitmore (2003) mendefinisikan coaching sebagai kunci
pembuka potensi seseorang untuk untuk memaksimalkan kinerjanya. Coaching lebih
kepada membantu seseorang untuk belajar daripada mengajarinya. Sejalan dengan
pendapat para ahli tersebut, International Coach Federation (ICF) mendefinisikan coaching sebagai“…bentuk
kemitraan bersama klien (coachee) untuk memaksimalkan
potensi pribadi dan profesional yang dimilikinya melalui proses yang
menstimulasi dan mengeksplorasi pemikiran dan proses kreatif.”
Peran yang dapat diambil oleh seorang guru sebagai
pemimpin pembelajaran di sekolah adalah sebagai : (1) coach bagi murid, (2) coach bagi rekan sejawat, dan (3) sebagai
agen pembuadaya coach di sekolah.
Guru dalam menuntun anak seringkali dihadapkan pada
beragam masalah yang dihadapi murid. Murid pun sesuai dengan tingkat usianya
membutuhkan arahan, bimbingan orang di luar dirinya. Di tingkat ini
permasalahan yang dihadapi seputar pertemanan, pertengkaran orangtua,
permasalahan ekonomi orang tua, dan penemuan jati diri mereka menginjak usia
remaja. Disinilah perlunya guru hadir sebagai coach terhadap murid. Membantu murid
untuk mengaktivasi kerja otak mereka.
Pertanyaan-pertanyaan reflektif dalam dapat membuat murid melakukan
metakognisi. Selain itu, pertanyaan-pertanyaan dalam proses coaching juga
membuat murid lebih berpikir secara kritis dan mendalam. Yang akhirnya, murid
dapat menemukan potensi dan mengembangkannya. Murid kita di sekolah tentunya
memiliki potensi yang berbeda-beda dan menunggu untuk dikembangkan.
Pengembangan potensi inilah yang menjadi tugas seorang guru. Apakah
pengembangan diri anak ini cepat, perlahan-lahan atau bahkan berhenti adalah
tanggung jawab seorang guru. Pengembangan diri anak dapat dimaksimalkan dengan
proses coaching.
Hubungannya dengen pembelajaran, guru perlu hadir
melakukan coaching kepada murid untuk mengetahui bagaimana kebutuhan dan minat
setiap murid dalam pembelajaran. Dengan guru mengetahui kesiapan murid dan
profil belajar murid, guru akan dapat menyelenggarakan pembelajaran
berdiferensiasi sesuai kondisi kebutuhan murid.
Coaching juga dapat digunakan untuk mengelola pelaksanaan
pembelajaran social dan emosional. Murid maupun rekan sejawat tentunya akan mengalami
suatu kondisi merasa capek, suntuk, buntu, dan kondisi kejiwaan lain yang
menyebabkan aktivitas tidak maksimal. Dengan adanya budaya coaching ini akan
dapat menjadi salah satu cara untuk mengatasi hal tersebut. Penggunaan coaching
dalam mengurai masalah yang dialami oleh warga sekolah akan mendukung terciptanya lingkungan belajar yang lebih positif,
peningkatan sikap positif dan toleransi murid terhadap dirinya, orang lain dan
lingkungan sekolah. Dengan adanya coaching dan PSE di kelas, proses pembelajaran bisa berjalan
dengan maksimal dan dapat
menghasilkan pencapaian akademik yang lebih baik.
Coaching juga dapat digunakan dalam proses supervisi akademik.
Dengan supervisi akademik potensi setiap guru dapat dioptimalisasi sesuai
dengan kebutuhan yang nantinya dapat membantu para guru dalam proses peningkatan
kompetensi dengan menerapkan kegiatan pembelajaran baru yang dimodifikasi dari
sebelumnya. Dan salah satu strategi yang dapat dilakukan dalam mencapai tujuan
tersebut adalah melalui percakapan coaching dalam keseluruhan
rangkaian supervisi akademik.
Supervisi akademik seringkali dilakukan sebagai sebuah
proses yang bersifat satu arah. Terlebih lagi jika supervisi dilakukan satu
kali dalam kurun waktu satu tahun pelajaran. Supervisi identik dengan penilaian
terhadap pendik dan menjadi sebuah tuntutan para pemimpin pembelajaran dalam
hal ini kepala sekolah dalam rangka mengevaluasi para tenaga pendidik dalam hal
melakukan pembelajaran. Meskipun secara ideal supervisi bertujuan juga untuk
mengembangkan kompetensi pendidik, namun di mata pendidik lebih dominan pada
upaya mendapatkan nilai untuk penilaian kinerja guru.
Perlu hadirnya
paradigma untuk menyikapi supervisi akademik sebagai proses supervisi akademik yang memberdayakan, yakni paradigma
pengembangan kompetensi yang berkelanjutan dan optimalisasi potensi setiap
individu. Untuk itu perlunya seorang pemimpin pembelajaran atau kepala sekolah menggunakan kacamata dan topi sebagai seorang
coach (paradigma berpikir Coaching) dan supervisi akademik sebagai
proses berkelanjutan yang memberdayakan.
Coaching didefinisikan sebagai sebuah proses kolaborasi yang berfokus pada
solusi, berorientasi pada hasil dan sistematis, dimana coach memfasilitasi
peningkatan atas performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan
pertumbuhan pribadi dari coachee (Grant, 1999). Sedangkan
Whitmore (2003) mendefinisikan coaching sebagai kunci
pembuka potensi seseorang untuk untuk memaksimalkan kinerjanya. Coaching lebih
kepada membantu seseorang untuk belajar daripada mengajarinya. Sejalan dengan
pendapat para ahli tersebut, International Coach Federation (ICF) mendefinisikan coaching sebagai“…bentuk
kemitraan bersama klien (coachee) untuk memaksimalkan
potensi pribadi dan profesional yang dimilikinya melalui proses yang
menstimulasi dan mengeksplorasi pemikiran dan proses kreatif.”
Begitu penting dan bermaknanya coaching bagi
keberlangsungan proses menuntun murid maka sangat perlu menerapkan coaching
dalam berkehidupan di dunia khususnya sebagai seorang guru harus mampu
menerapkan coaching minimal untuk murid yang menjadi asuhannya.
Komentar
Posting Komentar